Transportasi Berbasis Rel
Lalu lintas Jakarta diperkirakan macet total pada 2014 karena laju pertumbuhan jumlah kendaraan melampaui laju pertumbuhan jalan. Jakarta, dengan luas wilayah 662 kilometer persegi (website Bappeda DKI), menghadapi kemacetan terparah akibat pertumbuhan kendaraan bermotor yang mencapai 9,5 persen per tahun. Panjang jalan di Jakarta hanya 7.650 km dan luas jalan 40,1 km2 atau 6,05 persen dari luas wilayah DKI. Pertumbuhan jalan kurang dari 0,1 persen per tahun.
Kerugian ekonomi akibat kemacetan lalu lintas di Jakarta berdasarkan hasil penelitian Yayasan Pelangi pada 2005 ditaksir Rp 12,8 triliun per tahun yang meliputi nilai waktu, biaya bahan bakar dan ongkos kesehatan. Hasil survei Studi Masterplan Bodetabek oleh JICA (Japan International Cooperation Agency) menyebutkan 30 persen pendapatkan warga Jabodetabek terserap untuk biaya transportasi. Di sisi lain survei Aspirasi dan Persepsi Publik oleh Puskaptis (Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis) pada 2007 menyebutkan 84.96 persen responden mendukung pembangunan sarana transportasi massal lainnya, seperti subway dan monorel.
Sejak 2004 Pemprov DKI Jakarta merumuskan pola transportasi makro (PTM) sebagai strategi mengatasi kemacetan. Jaringan transportasi kota yang terintegrasi itu mengacu Perda No. 12 Tahun 2003 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Kereta Api, Sungai, Danau, serta Penyeberangan di Provinsi DKI Jakarta, serta Sk Gubernur DKI Jakarta No. 84 Tahun 2004 tentang Penetapan Pola Transportasi Makro di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Ada empat sistem transportasi umum dalam PTM, yakni bus priority (antara lain busway), LRT (light rail transit) dan ASDP (angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan). Selain pembangunan angkutan umum massal, strategi untuk menanggulangi kemacetan juga bertumpu pada peningkatan jaringan jalan dan pembatasan lalu lintas.
Bus Transjakarta sebagai modal angkutan umum cepat akan dibangun hingga 15 koridor. Sejak pengoperasian busway 15 Januari 2004 hingga April 2008, telah melayani 125,4 juta penumpang. Jumlah rata-rata penumpang per hari mencapai 210 ribu orang. Kereta massal atau MRT jalur Lebak Bulus-Dukuh Atas sepanjang 14 km segera memasuki tahap konstuksi pada 2011. “Saat ini program PTM yang sudah beroperasi yakni busway koridor I-VII”. “Kita ingin pola transportasi di Jakarta sejajar dengan kota metropolitan lainnya di dunia,” kata Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo.
Dalam jangka waktu menengah PTM berbasis rel adalah cita-cita Jakarta dalam rangka mengurangi pemakaian kendaraan pribadi. Tranportasi berbasis rel bisa menampung penumpang lebih banyak. “MRT, missalnya memiliki kapasitas mengakomodasi sekitar 340 ribu penumpang setiap hari dengan pengoperasian 15 train set (rangkaian kereta) yang masing-masing terdiri dari 6 cars dengan selang waktu pada kapasitas puncaknya adalah setiap 3 menit,” kata Direktur Fungsi Korporasi PT MRT Eddi Santosa. Jaringan MRT akan diintegrasikan dengan busway dan kereta rel listrik (KRL) komuter Jabodetabek di stasiun-stasiun tertentu. Pada proyek MRT tahap I ini, integrasi paling kompleks terjadi di stasiun Dukuh Atas.
Dengan membangun transportasi massal berbasis rel, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berupaya menerapkan semangat mengkota baru (new urbanism) yang lebih mengutamakan penataan kota pada perjalan kaki (pedestrian) dan kendaraan tidak bermotor. Semangat baru itu akan mendorong perubahan gaya hidup baru (new urbanism life style) sehingga ketergantungan pada kendaraan pribadi dapat berkurang. “Semua upaya ini diharapkan berdampak pada perubahan tata ruang yang lebih beradap, atraktif dan berkelanjutan,”kata Gubernur Fauzi Bowo.
Pembangunan MRT Jakarta pada akhirnya akan membangun suatu integrasi yang lebih baik antara sistem tata guna lahan perkotaan dengan sistem transportasi massal. Koneksi MRT dengan modal transportasi lain, menurut Fauzi Bowo bahkan lebih jauh lagi. “Kami sedang mengkaji bagaimana mengkoneksi jalur induk dengan sub-sub center yang ada disekelilingnya. Bagaimana sistem pejalan kaki atau pengendara sepeda bisa mengkoneksi Pondok Indah dengan jalur MRT. Jadi ada jalur interaksi tambahan, ini tentu added value untuk para pemakai jasa,” katanya.
Diharapkan keberadaan sistem tersebut memberi manfaat ekonomi dan sosial yang optimal bagi pengembangan kawasan perkotaan. “Pengembangan itu juga akan memberikan tujuan-tujuan perjalanan yang lebih menarik sehinggga tingkat penumpang sarana MRT juga lebih terjamin,” kata Direktur Utama PT MRT Tribudi Rahardjo.