Evolusi Internet Di Jalur Supercepat

Teknologi telah ikut mengubah pola belajar-mengajar Ruby Supriadi. Selain mengacu pada silabus, guru bahasa Indonesia di sebuah sekolah swasta di Jakarta Utara ini amat memanfaatkan Internet sebagai sumber bahan ajar.

Menurut Ruby, Internet memberikan banyak inspirasi tentang cara dan materi pengajaran. Ia banyak melakukan unduhan, sembari sesekali aktif di berbagai jejaring sosial.

Untuk itu, selain memakai sambungan Internet pita lebar fixed, ia memakai layanan Internet pita lebar bergerak. Tapi lelaki 27 tahun itu masih tak puas atas koneksi Internet yang dimilikinya saat ini.

"Saya membayangkan, kalau WiMAX atau LTE benar-benar jadi, Internet mungkin takkan jadi selemot itu," dia menggerutu.

WiMAX atau Worldwide Interoperability for Microwave Access dan LTE atau Long Term Evolution adalah teknologi Internet berkecepatan tinggi yang banyak diwacanakan saat ini.

Tapi Ruby--dan sekitar 30 juta pengguna Internet di Indonesia per September lalu--tampaknya mesti lebih bersabar. Kedua teknologi itu masih tenggelam dalam wacana dan proses yang berlarut-larut.

Untunglah operator seluler di Indonesia tak mau ketinggalan kereta. Baru-baru ini Telkomsel dan Indosat telah memperkenalkan teknologi bernama High Speed Packet Access Plus (HSPA+). HSPA+ bukanlah nama yang tiba-tiba saja muncul seperti sulap. Secara teknologi, HSPA adalah keluarga 3G yang merupakan gabungan dari protokol High Speed Downlink Packet Access (HSDPA) dan High Speed Uplink Packet Access (HSUPA).

HSDPA sudah diadopsi hampir semua operator. Tapi permasalahannya, koneksinya semakin lambat seiring dengan bertambahnya pelanggan.
Nah, kehadiran HSPA+, yang spektrumnya lebih luas ketimbang HSDPA dan HSUPA, diharapkan bisa menjadi oasis. HSPA+ dikenal dengan nama HSPA Evolution atau Internet HSPA. Protokol ini mendukung teknologi multiple input multiple output (MIMO) dan modulasi yang lebih tinggi.

Alhasil HSPA+ menghasilkan spektrum downlink dan uplink yang lebih besar. HSPA+ mendongkrak transfer downlink dari 14 megabita per detik (Mbps) menjadi 21 Mbps per frekuensi 5 MHz. Itu baru generasi awal.

"Rilis tujuh dan delapannya malah akan mencapai kecepatan 42 Mbps dan 80 Mbps serta bisa bersaing dengan LTE," kata Harry Nugraha, Country Manager Qualcomm Indonesia, vendor chip dan modul untuk 3G.

LTE pun sebetulnya masih satu keluarga dengan HSPA dan HSDPA. Ia malah menawarkan kecepatan sampai 100 Mbps. Namun, untuk beralih ke teknologi ini, operator biasanya mesti menanamkan investasi yang sangat besar untuk infrastrukturnya.

Sedangkan untuk HSPA+, "Infrastruktur yang ada sekarang sudah kompatibel," kata Harry. "Saya kira HSPA+ lebih masuk akal bagi operator saat ini."
Barangkali hal itu pula yang mendasari Telkomsel meluncurkan layanan HSPA+ pada 4 November lalu. Perusahaan ini menganggarkan 10 persen dari belanja modal (Capex) 2009, yang besarannya mencapai Rp 13 triliun.
Telkomsel telah mendapatkan slot frekuensi carrier 3G kedua sebesar 5 MHz pada September lalu. Slot anyar ini bakal dikhususkan untuk data sehingga keluhan umum pengguna Internet bergerak soal koneksi yang lemot bisa dihindari.
Adapun Indosat, yang akan memulai layanan HSPA+ pada akhir tahun ini, tak membagi-bagi frekuensinya seperti itu. Indosat akan memakai total 10 MHz frekuensi 3G-nya untuk layanan HSPA+.

Indonesia baru memulai. Padahal koneksi HSPA dan HSPA+ sudah banyak diadopsi di berbagai tempat di dunia. Saat ini ada lebih dari 150 juta koneksi pada 236 jaringan di 104 negara.

Jaikishan Rajaraman, Direktur Senior Services GSM Association, mengatakan pengimplementasian HSPA terus bertumbuh dan diharapkan pada 2012 jumlah penggunanya akan mencapai 1 miliar. Nilai ARPU (pendapatan rata-rata per user) memang akan turun dari US$ 48 menjadi US$ 24 pada 2011. Namun, biaya infrastruktur jaringan juga akan turun 3-5 persen per tahun. "Demikian pula harga modul HSPA, turun dari US$ 70 menjadi US$ 35," tutur Rajaraman dalam sebuah diskusi terbatas dengan media di Jakarta beberapa waktu lalu.

Rajaraman mengatakan lebih lanjut, jaringan pita lebar telah ikut mendorong pertumbuhan ekonomi. Setiap 10 persen penetrasi jaringan pita lebar telah ikut menaikkan gross domestic product sebesar 1 persen. Dalam contoh kecil, seorang guru seperti Ruby pun bisa menikmati kemudahan menemukan materi ajar secara cepat dan murah. Ujung-ujungnya, manfaatnya pun akan dirasakan oleh murah-muridnya.

Evolusi di Jalur EDGE

Siapa bilang lahirnya generasi lanjutan akan "membunuh" generasi pendahulunya? "3G dan 3,5G sudah lahir, tapi sampai saat ini GSM dan EDGE masih bertahan hidup bukan?" kata John Stefanac dari Qualcomm International.
Di samping itu, gerakan perbaikan teknologi GSM/EDGE--yang disebut generasi 2G--juga belum berhenti. Ericsson adalah salah satu vendor yang mencoba melakukannya dengan teknologi bernama EDGE Evolution.
Teknologi ini seperti "menyuntikkan" tenaga 3G ke dalam jaringan EDGE yang ada saat ini. Operator cukup meng-upgrade peranti lunak pada infrastruktur yang sudah ada. EDGE Evolution mampu meningkatkan kecepatan transfer data sampai 1 Mbps. Latensinya berkurang sampai 80 millisecond dan kapasitas serta efisiensi spektrumnya dilipatgandakan.

Sumber : tempointeraktif.com

0 Responses